DEMOKRASI.TK


AL-ISLAH no 114
Desember 23, 2007, 6:20 am
Filed under: Ustadz Ba'asyir Yang Bijak

Ustadz Abu

Bakar Ba’asyir

Yang Bijak

 

 

Ustadz abu –panggilan akrab ustadz Abu Bakar Ba’asyir- sangat yakin bahwa penerapan/penegakkan syariat Islam hanya bisa dilakukan oleh penguasa, keyakinan ustadz abu ini didukung bahwa tegaknya syariat Islam selalu dibarengi oleh adanya kepimimpinan/kekuasaan oleh Islam, misalnya, tegaknya syariat Islam pada masa rasulullah saw karena adanya kepemimpinan beliau dan kekuasaan Islam, begitu juga pada masa ke-khalifah-an, tegaknya syariat Islam karena adanya kepemimpinan para sahabat di dalam sebuah negara yang berdaulat, sejarah setelahnya juga menunjukkan demikian, ketika ada kepimimpinan Islam dalam sebuah negara maka di situ pula syariat Islam dapat ditegakkan.

Karena penerapan syariat Islam itu wajib, dan karena syariat Islam hanya bisa ditegakkan oleh adanya kekuasaan/kepemimpinan Islam, maka wajib pula untuk meraih kekuasaan dan kepimpinan di suatu wilayah yang berdaulat, hal itu senada dengan sebuah kaidah fiqih :

Sesuatu yang menyebabkan tidak dapat terlaksananya kewajiban, maka itu adalah wajib.

Di dalam sebuah hadits juga diisyaratkan wajibnya mengangkat pemimpin :

“Jika kalian keluar (berpergian) dalam suatu perjalanan jauh, hendaklah mereka mengangkat pimpinan satu di antara mereka. ”

HR.: Abu Dawud dengan sanad yang hasan.

Kalau di dalam urusan perjalanan saja wajib hukumnya mengangkat seorang pemimpin, tentu untuk urusan umat di suatu negara jauh lebih perlu dan wajib adanya pemimpin, oleh karenanya umat Islam wajib mengangkat seorang pemimpin di dalam sebuah negara. Al-Qur’an juga megisyaratkan wajibnya mengangkat seorang pemimpin :

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu.

QS. 4:59

Yang menjadi dalil wajibnya adalah ta’atilah ulil amri, bila tidak ada ulil amri maka tidak ada yang di taati, oleh karenanya wajib mengangkat ulil amri.

Dalam konteks perpolitikan modern ini, demokrasi telah menjadi sesuatu yang lumrah untuk mencapai kekuasaan di sebuah negara berdaulat yang bukan kerajaan, namun Ustadz Abu walaupun sangat yakin bahwa syariat Islam hanya bisa ditegakkan melalui kekuasaan pemerintah, ustadz Abu nampaknya tidak akan menempuh jalan tersebut.

“Selama partai-partai itu masih berada dalam sistem demokrasi maka saya tidak akan bergabung atau mendu-kungnya. Mengikuti Pemilu sistem demokrasi itu saya juga tidak akan melakukannya. Tapi saya akan tetap menasihati mereka (parpol) dan memberi pengertian dengan sabar,” lanjutnya.

Detik.Com10/07/2006 15:19 WIB
Tolak Demokrasi, Ba’asyir Tidak Akan Gabung Parpol

Hal itu karena menurutnya demokrasi adalah sistem yang berasal dari orang-orang kafir yang tidak sama dengan sistem Islam :

“Demokrasi berbuat sesuai mayoritas, kalau Islam
Berbuat sesuai perintah Allah,”

http://www.acehforum.or.id/mmi-ajukan-baasyir

Dan menurutnya lagi karena demokrasi meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, padahal kedaulatan hanyalah milik Allah semata :

“Harus berdasar Allah-krasi yaitu kedaulatan mutlak di tangan Allah. Tidak ada tawaran lagi bagi penerapan syariat Islam, sedangkan untuk urusan umum yang lainnya silakan mau dirundingan,” ujarnya.

Detik.Com 10/07/2006 15:19 WIB
Tolak Demokrasi, Ba’asyir Tidak Akan Gabung Parpol

Ustadz Abu nampaknya juga tidak akan menempuh kekuasaan :

“Nama saya disebut-sebuit sebagai calon presiden. Saya tidak bisa mengurus negara, bisa bubar semua!” tandas Ba’asyir saat menyampaikan tausiyah peluncuran LBH PPP GPI di kantor PP GPI, Jalan Menteng Raya, Ja-karta, Kamis (5/7/2007).

Menurut Ba’asyir, dia hanya bisa berdakwah dan mengurus ponpes saja dan hanya mencari ridha Allah.

“Saya tidak ada tujuan memimpin negara, menjadi presiden naudzubillah, apalagi memimpin negara jahiliyah!” cetus dia.

Namun Ba’asyir menghargai usaha lembaga itu mencari pemimpin yang bersih. Hanya saja dia minta namanya jangan dikait-kaitkan. “Saya hanya ingin berdakwah,” tegasnya.

Detik.Com 05/07/2007 15:10 WIB
Ba’asyir Tolak Pimpin Negara Jahiliyah

Bukti lain bahwa ustadz Abu tidak akan fokus pada kekuasaan adalah tidak adanya rencana MMI untuk memberontak pemerintahan :

Tahun 2000-2002 di Majelis Mujahidin bahkan telah disusupi pihak intelijen nasional, dan menjadi pengurus Lajnah Tanfidziyah bidang hubungan antar Mujahid. Diketahuinya satu orang telah menyusup ke tubuh Majelis Mujahidin berkaitan dengan hilangnya “pengurus” ini tanpa sebab setelah kasus bom Bali. Setelah diusut, dicari-cari, akhirnya diketahuilah bahwa Mr. X, tersebut aslinya adalah seorang perwira militer. Namun karena majelis Mujahidin tidak pernah memiliki niat untuk melakukan bughat (memberontak) maka penyusupan itupun tak ada gunanya. Kalau yang ditemukan hanya aktifitas kajian-kajian, di luar Mujahidin banyak juga kajian, bahkan yang lebih radikal dibandingkan dengan Mujahidin.

id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Mujahidin_Indonesia

MEMETAKAN PERJUANGAN

Ustadz Abu berkeyakinan bahwa menerapkan syariat Islam merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar dan berkeyakinan bahwa syariat Islam hanya bisa ditegakkan melalui kekuasaan dan kepimimpinan, namun ustadz Abu nampaknya tidak ada fokus sama sekali untuk merebut kekuasaan dan kepemimpinan melaui cara apapun baik demokrasi maupun revolusi, oleh karenanya perjuangan ustadz Abu mau tidak mau harus diestafetkan kepada umat Islam yang lainnya yang memfokuskan perjuangan untuk meraih kekuasaan.

Perjuangan ustadz Abu apa yang sering disebut dengan formalisasi syariat Islam mau tidak mau harus menyadari bahwa perjuangannya hanya bisa sampai sebatas mensosialisasikan kepada masyarakat muslim agar mau menerima syariat Islam sebagai hukum positif dan sebatas menyarankan dan memberi peringatan kepada pemerintah agar mau melegalkan syariat Islam sebagai sumber hukum.

Bila sosialisasi itu berhasil membuat mayoritas umat Islam mau menerima syariat Islam sebagai satu-satunya sumber hukum positif yang berlaku di Indonesia dan mereka menginginkan syariat Islam diterapkan di wilayah Indonesia, maka keberhasilan sosialisasi tersebut tidak akan secara otomatis dapat mewujutkan keinginan masyarakat, harus ada upaya agar syariat Islam dapat diberlakukan di Indonesia, dan itu harus ada pelegalan pemerintah, oleh karenanya untuk mendapatkan pelegalan tersebut harus dengan jalan yang tidak melanggar UU, hal semacam itu telah disadari oleh ustadz Abu :

“Umat Islam harus terus menggalang semua kekuatan untuk menegakkan syariat Islam dengan jalan tidak me-langgar UU. Partai politik Islam juga harus melakukan reformasi menegakkan syariat Islam,” ujarnya berapi-api.

Detik.Com 30/06/2006 17:30 WIB
Ba’asyir: Syariat Islam Harga Mati

Dan jalan itu berarti harus melalui pemilu/demokrasi, karena jalan itulah yang sah menurut UU Indonesia untuk menyampaikan aspirasi masyarakat, makanya ustadz Abu kepada partai politik Islam yang notabene berjuang melalui demokrasi menyerukan agar melakukan reformasi menegakkan syariat Islam.

Sehingga tidak mengherankan ustadz Abu dapat dekat dengan parpol-parpol yang berplatform Islam seperti PPP, PBB, PAN, PBR, PKS dan lain-lain dan dekat dengan ormas-ormas Islam seperti ICMI, Muhammadiyah, NU dan lain-lain, hal ini rupanya dimaksudkan sebagai tongkat estafet dari perjuangannya mensosialisasikan syariat Islam, karena akan sia-sia keberhasilannya mensosialisasikan bila tidak diestafetkan kepada orang-orang yang berjuang melalui demokrasi dan mempunyai akses ke pemerintahan, karena melalui merekalah formalisasi syariat Islam akan bisa diwujudkan dengan tanpa melanggar UU seperti yang ustadz Abu sendiri nyatakan, artinya akan sia-sia bila mayoritas masyarakat yang telah menyadari wajibnya menerapkan syariat Islam namun suaranya tidak diberikan kepada partai Islam.
USTADZ ABU TIDAK RADIKAL

Kebanyakan akan mengira ustadz Abu akan menggunakan kekuatan fisik seperti pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia. Namun Ustadz Abu dan MMI sama sekali tidak menunjukkan sikap semacam itu setidak-tidaknya sejak dibentuknya MMI pada tahun 2002 hingga kini, bahkan ada kecenderungan tidak menyukai radikalisme dan kekerasan.

Menanggapi pengeboman yang dilakukan oleh Imam Samudra, Amrozi dan kawan-kawan ustadz Abu menyatakan bahwa mereka adalah mujahid yang dapat salah karena mereka bukan nabi, ustadz Abu tidak menyetujui tindakan mereka karena menurutnya tidak perlu melakukan hal tersebut di wilayah tidak konflik.

Beliau juga menasehati pimpinan FPI Habib Rizieq agar tidak terlalu radikal dalam menegakkan syariat Islam :

Rizieq mengaku sering dinasihati agar tidak terlalu radikal dalam menegakkan syariah Islam. “Saya juga pernah tanya pandangan beliau tentang pengeboman di Indonesia. Menurut Ustadz, hal itu akan mempersulit dakwah syariah Islam dan beliau tidak setuju itu,” ujar Rizieq.

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/01/25/brk,20060125-72928,id.html

Ustadz Abu dan MMI juga sepakat pemerintah membubarkan ormas-ormas yang anarkis :

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) mendukung rencana pemerintah membubarkan ormas ilegal. Pemerintah harus tegas menindak ormas yang anarkis.

“Saya setuju tentang rencana pemerintah membubarkan ormas yang anarkis,” kata juru bicara MMI Fauzan Al Anshori di Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Selasa 20/6/2006.

Detik.Com 20/06/2006 10:18 WIB
MMI Setuju Ormas Anarkis Ditindak

Ustadz Abu juga berpendapat bahwa perang pemikiran harus dilawan dengan perang pemikiran jangan dilawan dengan kekerasan.

SEBAGIAN SAJA

Kesulitan yang di alami ustadz Abu dalam memformalkan syariat Islam atau melegalkan syariat Islam, tidak menyurutkan perjuangan beliau, ustadz-pun melirik perda sebagai celah untuk memformalkannya :

Jika umat Islam tidak dapat mendirikan negara Islam, Perda (Peraturan daerah) adalah salah satu celah yang dapat digunakan oleh umat Islam untuk mengundangkan syariat Islam dalam negara.

Hal tersebut disampaikan oleh Abu Bakar Ba’asyir dalam seminar bertajuk “Peluang dan Tantangan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia yang diselenggarakan oleh STAIN Surakarta (14/04).

Padahal, perda yang dikatakan bernuansa Islam tersebut sesungguhnya masih jauh dari nilai syariat Islam yang sesungguhnya, namun ustadz rupanya menyadari bahwa bila tidak bisa mencapai seluruhnya maka jangan tinggalkan seluruhnya seperti yang disebutkan dalam sebuah kaidah fiqih, yang didukung oleh ayat al-Qur’an :

Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut ke-sanggupanmu…. QS. 64:16

Sikap ustadz Abu tersebut merupakan sebuah sikap yang amat bijak yang lahir karena kondisi realita yang membentang di sepanjang jalan perjuangannya dalam menegakkan syariat Islam, yang kalau boleh dikatakan sikap ustaz Abu tersebut merupakan adaptasi dengan kondisi yang ada guna terus menghidupkan lokomotif perjuangannya, ada dua adaptasi yang dapat dilihat oleh umat, yaitu : Pertama, ustadz Abu menolak keras demokrasi, lalu ustadz Abu meminta umat Islam mendukung perda-perda yang bernuansa syariat Islam, di mana perda-perda tersebut lahir dari proses demokrasi. Kedua, Ustadz Abu menyatakan bahwa aturan-aturan yang dibuat manusia adalah din manusia yang harus ditinggalkan, tetapi kemudian ustadz Abu meminta umat Islam untuk mendukungnya, padahal perda-perda yang beliau maksud adalah buatan manusia yang esensinya saja yang bernuansa Islam.

Bila diperbandingkan dengan pendapat syaikh Al-Bani ketika dimintai fatwa oleh partai FIS, maka sikap yang diambil ustadz Abu adalah sangat tepat dan sangat bijak.

Aku katakan ini, – walaupun aku meyakini bahwa pencalonan dan Pemilu ini tidak merealisasikan sasaran yang dituju (tegaknya syariat Islam) sebagaimana keterangannya di atas.- namun dari bab membatasi kejahatan, atau menolak kerusakan yang lebih besar dengan kerusakan yang lebih kecil, seperti yang diperkatakan oleh Ahli Fiqih (maka aku nasehatkan untuk memilih dari mereka golongan muslim).

                                                                   Fatwa ke dua

Demokrasi telah tidak berhasil menghantarkan para aktifis untuk menerapkan syariat Islam, namun menurut fatwa syaikh Albani tersebut umat Islam harus tetap memilih partai yang berazaskan Islam agar tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Sikap yang diambil oleh ustadz Abu ketika umat Islam tidak dapat menegakkan syariat Islam maka menurut ustadz Abu umat Islam harus pandai mencari celah, dan menurut beliau celah tersebut ada di perda syariat Islam yang diperjuangkan oleh para aktifis partai dan ustadz Abu menyerukan agar umat Islam mendukungnya, tentu saja dukungan yang bisa diberikan adalah melalui pemilu, dan semua itu ustadz Abu serukan agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah, sikap ustadz Abu ini sejalan dengan fatwa Syaikh Albani.

Malang, 23 Desember 2007


1 Komentar so far
Tinggalkan komentar

[…] AL-ISLAH no 114 […]

Ping balik oleh Kader PKS - Menghimpun potensi kader dan ummat




Tinggalkan komentar